Senin, 08 November 2010

"Mempertanyakan Idealisme Penegakan Hukum di Indonesia"

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.
Faham tentang cita-cita penegakan hukum di Indonesia, sebenarnya tidak lari dari substansi nilai-nilai Pancasila, yang salah satunya adalah, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan telah sejak zaman Yunani merupakan cita-cita hukum tertinggi. Tentang apakah makna dan batasan tentang "Keadilan" itu, sampai saat ini tampaknya belum ada satu definisi pun yang merepresentasi dan diakui dan diterima sumua pihak tentang apa batasan "keadilan" itu; bahkan relativitas keadilan memunculkan pendapat, bahwa “keadilan tertinggi itu adalah ketidak-adilan tertinggi”.

Jika berpijak kepada pendapat ini, jelas kiranya kita sangat skeptis terhadap apa yang sedang dikerjakan oleh seluruh pengadilan di semua negara, termasuk Indonesia. Apalagi kita ketahui dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, para penegak hukumnya jarang konsisten tentang apa arti pentingnya hukum itu ditegakkan.

Sungguhpun ada yang tahu betul, dalam praktiknya mereka pura-pura tidak tahu, bahkan “tidak mau tahu” perlunya hukum ditegakkan, sehingga praktiknya terdapat jurang perbedaan antara dassein dengan dassollen, atau antara keharusan dengan kenyataan, atau antara idealita dengan realita tentang proses penegakan hukum itu sendiri.
Sehingga budaya penegakan hukum di Indonesia bersifat oportunis, hypokrit dan tidak akuntabel. Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, sehingga muncul stigma adanya “Mafia Peradilan” (baca : bukan mafia pengadilan). Karena budaya penegakan hukum yang rusak, ternyata tanpa disadari “masyarakat” ikut berperan atas rusaknya penegakan hukum di Indonesia. Salah satu penyebab ialah masyarakat kita lebih menyenangi proses penyelesaian hukum yang serba instan sehingga tidak segan-segan mengeluarkan uang asal masalahnya cepat selesai. Dan anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, penyuapan atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah lagi dimana sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya.

Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya law enforcement di negeri ini.
Kita perlu membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel, antara lain :
1). Penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada, seperti antara lain perlu segera dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No.4 tahun 2004 terutama yang mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi pelanggar KUHAP, khususnya bagi mereka, yang ditangkap, ditahan,dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan hukum yang jelas, atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ;
2) Ditingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas, intelektualitasnya, dan kesejahteraan ;
3). Dibentuknya suatu lembaga pengawas penegakan hukum di Indonesia yang independen yang dapat memberi merekomendasi tentang sanksi bagi Penegak Hukum yang nakal, dan melanggar Hak Asasi manusia (HAM) ;
4) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ;
5) Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat Indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( ‘rechtsstaat’ ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di Republik Mimpi.
( Tulisan ini pernah dimuat di ”Teropong Hukum” SKH Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar