Minggu, 21 November 2010

“ A D V O K A S I “

Oleh : Drs.M. SOFYAN LUBIS, SH.


Secara awam banyak difahami oleh masyarakat pengertian "advokasi" pasti berkaitan dengan tugasnya soseorang yang berprofesi sebagai advokat, dalam konteks ini advokat diartikan adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum dalam rangka melakukan pembelaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang advokat (vide UU No.18 tahun 2003 tentang Advokat). Sehingga tidak heran banyak para advokat juga mengartikan "advokasi" adalah sebagai bagian tugas dalam upaya pembelaan hukum terhadap hak-hak hukum kliennya. Begitu juga pengertian advokasi yang ada dibeberapa Lembaga Bantuan Hukum (LBH), semula program advokasi di LBH-LBH yang ada dititik-beratkan pada program pembelaan hukum yang dilakukan di pengadilan saja sebagai salah satu ciri khasnya, sehingga "advokasi" dimaknai sebagai kegiatan pembelaan di ruang-ruang pengadilan dalam rangka mencari keadilan serta menegakkan hak-hak hukum mereka yang dibela oleh pihak LBH, dan bidang yang menangani advokasi di LBH bersangkutan biasanya disebut dengan bidang Litigasi . Di Lembaga Bantuan Hukum atau LBH dulunya bidang advokasi merupakan bidang Litigasi yang lebih khusus diartikan sebagai upaya bantuan hukum yang diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat kurang mampu secara ekonomi, dan biasanya perkara yang ditangani adalah perkara struktural.

Di dalam perkembangannya advokasi tidak lagi difahami sebagai suatu upaya pembelaan hukum diruang pengadilan dalam rangka mencari keadilan, ruang pengadilan tidak lagi satu-satunya tempat untuk mewujudkan keadilan apalagi telah menjadi rahasia umum pengadilan yang koruptif justru menjadi tempat dan sumber ketidakadilan itu sendiri (political stage). Di samping itu berangkat dari fakta-fakta sosial tentang banyak terjadi ketimpangan sosial, ketidak-adilan sosial, keterbelakangan sosial di tengah masyarakat Indonesia, dimana diketahui akar masalah terjadinya ketidakadilan, keterbelakangan dan ketimpangan sosial itu selalu bersumber dari beberapa indikator yang antara lain ; terhambatnya mekanisme keputusan politik atau kebijakan public service yang kurang memihak kepada rakyat banyak, kurang dihormatinya hak-hak asasi manusia, hak sipil-politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya, partisipasi politik rakyat banyak tidak terakomodir dengan baik dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan-kebijakan pemerintah, sehingga kesemua itu pada gilirannya membuat kehidupan berbangsa dan bernegara tidak demokratis. Atas dasar ini "advokasi" memiliki dimensi pengertian yang sangat luas, bahkan pengertiannya sangat tergantung pada situasi secara kontekstual. Dalam konteks ini "advokasi" dapat diartikan: sebagai segala upaya legal yang sistematis dan terorganisir baik itu dalam mempengaruhi dan mensosialisasikan nilai-nilai yang bermanfaat bagi rakyat banyak sehingga terjadi perubahan prilaku dan kemampuan masyarakat luas untuk melakukan dan memperjuangkan seluruh hak-haknya secara mandiri, maupun segala upaya yang ditujukan kepada pemerintah dan/atau kepada semua -pihak yang menguasai hajat hidup orang banyak agar mengubah kebijakan, system dan program yang ada demi terciptanya keadilan sosial yang demokratis.

Berangkat dari pengertian "advokasi" ini, advokasi bukan lagi sekedar pembelaan hukum yang dilakukan di ruang pengadilan untuk mewujudkan keadilan, advokasi merupakan suatu pembelaan terhadap hak-hak asasi manusia, hak sipil-politik, hak ekonomi, sosial dan budaya yang secara konprehensif diperjuangkan melalui akar masalahnya. Karena advokasi disini dilakukan secara sistematis dan terorganisir, maka advokasi merupakan kerja dari koalisi dari sumber daya manusia yang kapabel, mempunyai rumusan tujuan dan sasaran yang jelas, harus mempunyai data dan informasi baik kuantitatif maupun kualitatif dari semua aspek sasaran terkait, mempunyai paket-paket pesan yang jelas untuk disampaikan kepada sasaran dan seluruh pihak terkait, melakukan evaluasi agar ditemukan cara yang lebih tepat dalam mencapai target advokasi; dan yang tidak kalah pentingnya upaya advokasi harus memiliki dana yang cukup untuk mengoperasionalkan program-programnya, oleh karenanya advokasi harus mempunyai konsep yang menyangkut legitimasi, dan ini merujuk terhadap apa dan siapa yang diwakili supaya didengar oleh masyarakat dan pemerintah ; mempunyai kredibilitas dan ini merujuk pada hubungan baik antara organisasi dengan konstituennya agar advokasi dapat dipercaya ; mempunyai kekuasaan sebagai modal untuk bargaining dan ini biasanya merujuk pada jumlah orang yang dapat dimotivasi ; dan memiliki akuntabilitas, yaitu bentuk pertanggungjawaban kepada publik khususnya yang diwakilinya karena pertanggungjawaban itu memang merupakan hak mereka ; Advokasi sangat diperlukan dalam masyarakat kita agar nilai-nilai pembangunan dapat diserap dengan baik sehingga terbangun manusia Indonesia seutuhnya yang bermartabat yang mengerti hak dan kewajibannya sebagai warganegara dalam iklim yang sehat dan demokratis. Disini, peran dari LBH-LBH dan/atau LSM-LSM sangatlah besar, karena merekalah yang begittu concern dalam melakukan upaya advokasi.---------------

Sabtu, 20 November 2010

Pesan Sang Ayah Kepada Anaknya

  • Written by beritaku
  • Posted August 19, 2008 at 7:55 pm, update now

Untuk jadi bahan renungan kita semua…

Dahulu kala ada 2 orang kakak beradik. Sebelum meninggal, ayah mereka berpesan dua hal :
1. Jangan menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadamu
2. Jika mereka pergi dari rumah ke toko jangan sampai mukanya terkena sinar matahari.

Waktu berjalan terus. Dan kenyataan terjadi, bahwa beberapa tahun setelah ayahnya meninggal anak yang sulung bertambah kaya sedang yang bungsu menjadi semakin miskin.
Ibunya yang masih hidup menanyakan hal itu kepada mereka.

Jawab anak yang bungsu :
Inilah karena saya mengikuti pesan ayah. Ayah berpesan bahwa saya tidak boleh menagih hutang kepada orang yang berhutang kepadaku, dan sebagai akibatnya modalku susut karena orang yang berhutang kepadaku tidak membayar sementara aku tidak boleh menagih. Juga ayah berpesan supaya kalau saya pergi atau pulang dari rumah ke toko dan sebaliknya tidak boleh terkena sinar matahari. Akibatnya saya harus naik becak atau andong. Sebetulnya dengan jalan kaki saja cukup, tetapi karena pesan ayah demikian maka akibatnya pengeluaranku bertambah banyak.

Kepada anak yang sulung yang bertambah kaya, sang ibupun bertanya hal yang sama.

Jawab anak sulung :
Ini semua adalah karena saya mentaati pesan ayah. Karena ayah berpesan supaya saya tidak menagih kepada orang yang berhutang kepada saya, maka saya tidak menghutangkan sehingga dengan demikian modal tidak susut. Juga ayah berpesan agar supaya jika saya berangkat ke toko atau pulang dari toko tidak boleh terkena sinar matahari, maka saya berangkat ke toko sebelum matahari terbit dan pulang sesudah matahari terbenam. Akibatnya toko saya buka sebelum toko lain buka, dan tutup jauh sesudah toko yang lain tutup. Sehingga karena kebiasaan itu, orang menjadi tahu dan tokoku menjadi laris, karena mempunyai jam kerja lebih lama.

Bagaimana dengan anda??

Kisah diatas menunjukkan bagaimana sebuah kalimat ditanggapi dengan presepsi yang berbeda jika kita melihat dengan positive attitude maka segala kesulitan sebenarnya adalah sebuah perjalanan membuat kita sukses tetapi kita bisa juga terhanyut dengan adanya kesulitan karena rutinitas kita.. pilihan ada di tangan kita.
a. Berusaha melakukan hal biasa yang dikerjakan dengan cara yang luar biasa.
b. Mengubah diri Anda sendiri, biasanya merupakan cara terbaik untuk merubah orang.

(sumber : blog beritaku)

Jumat, 19 November 2010

"Mempertanyakan Idealisme Penegakan Hukum Kita"


 

Drs. M. Sofyan Lubis, SH.


Faham tentang cita-cita penegakan hukum di Indonesia, sebenarnya tidak lari dari substansi nilai-nilai Pancasila, yang salah satunya adalah, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Keadilan telah sejak zaman Yunani merupakan cita-cita hukum tertinggi. Tentang apakah makna dan batasan tentang "Keadilan" itu, sampai saat ini tampaknya belum ada satu definisi pun yang merepresentasi telah diakui dan diterima sumua pihak tentang apa batasan "keadilan" itu; bahkan relativitas keadilan memunculkan pendapat, bahwa "keadilan tertinggi itu adalah ketidak-adilan tertinggi". 

Jika berpijak kepada pendapat ini, jelas kiranya kita sangat skeptis terhadap apa yang sedang dikerjakan oleh seluruh pengadilan di semua negara, termasuk Indonesia. Apalagi kita ketahui dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, para penegak hukumnya jarang konsisten tentang apa arti pentingnya hukum itu ditegakkan. 

Sungguhpun ada yang tahu betul, dalam praktiknya mereka pura-pura tidak tahu, bahkan "tidak mau tahu" perlunya hukum ditegakkan, sehingga praktiknya terdapat jurang perbedaan antara dassein dengan dassollen, atau antara keharusan dengan kenyataan, atau antara idealita dengan realita tentang proses dan tujuan penegakan hukum itu sendiri.
Sehingga budaya penegakan hukum di Indonesia bersifat oportunis, hypokrit dan tidak akuntabel. Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, sehingga muncul stigma adanya "Mafia Peradilan" (baca : bukan mafia pengadilan). Karena budaya penegakan hukum yang rusak yang mengakar dari lemahnya iman dan taqwa serta ekonomi Penegak Hukum. Bahkan ternyata tanpa disadari "masyarakat" ikut berperan atas rusaknya penegakan hukum di Indonesia. Salah satu penyebab ialah masyarakat kita lebih menyenangi proses penyelesaian hukum yang serba instan sehingga tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk "menyuap" penegak hukum asal masalahnya cepat selesai. Dan anehnya "masyarakatpun" malah mempersoalkan adanya "suap-menyuap" dalam penegakan hukum, padahal masyarakat sudah sangat terbiasa bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya, apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, penyuapan agar kasusnya menang di pengadilan atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah lagi dimana sebagian besar masyarakat kita telah sangat hapal bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukum.

Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya kebudayaan dan prilaku hukum di negeri ini.


Kita perlu membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel dan kebudayaan hukum dengan titik fokus membangun prilaku hukum, antara lain :
1). Penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada ;
2) Ditingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas, intelektualitasnya, dan kesejahteraan ;
3). Dibentuknya suatu lembaga pengawas penegakan hukum di Indonesia yang independen yang dapat memberi merekomendasi tentang sanksi bagi penegak hukum yang nakal, dan melanggar Hak Asasi manusia (HAM) ;
4) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas dan membangun kebudayaan hukum yang tercermin dari prilaku hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; "setiap masyarakat dianggap tahu hukum" ;
5) Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh "Catur Wangsa" atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih ('clean government'), karena penegakan hukum ('law enforcement') adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( 'lapuissance de executrice') harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi "Kejaksaan" dan "Kepolisian" karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat Indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( 'rechtsstaat' ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di dunia maya.


 

Penulis : seorang Advokat & Pengamat Sosial


 


 

Senin, 08 November 2010

"Mempertanyakan Idealisme Penegakan Hukum di Indonesia"

Oleh : Drs. M. Sofyan Lubis, SH.
Faham tentang cita-cita penegakan hukum di Indonesia, sebenarnya tidak lari dari substansi nilai-nilai Pancasila, yang salah satunya adalah, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Keadilan telah sejak zaman Yunani merupakan cita-cita hukum tertinggi. Tentang apakah makna dan batasan tentang "Keadilan" itu, sampai saat ini tampaknya belum ada satu definisi pun yang merepresentasi dan diakui dan diterima sumua pihak tentang apa batasan "keadilan" itu; bahkan relativitas keadilan memunculkan pendapat, bahwa “keadilan tertinggi itu adalah ketidak-adilan tertinggi”.

Jika berpijak kepada pendapat ini, jelas kiranya kita sangat skeptis terhadap apa yang sedang dikerjakan oleh seluruh pengadilan di semua negara, termasuk Indonesia. Apalagi kita ketahui dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, para penegak hukumnya jarang konsisten tentang apa arti pentingnya hukum itu ditegakkan.

Sungguhpun ada yang tahu betul, dalam praktiknya mereka pura-pura tidak tahu, bahkan “tidak mau tahu” perlunya hukum ditegakkan, sehingga praktiknya terdapat jurang perbedaan antara dassein dengan dassollen, atau antara keharusan dengan kenyataan, atau antara idealita dengan realita tentang proses penegakan hukum itu sendiri.
Sehingga budaya penegakan hukum di Indonesia bersifat oportunis, hypokrit dan tidak akuntabel. Penegakan hukum yang akuntabel dapat diartikan sebagai suatu upaya pelaksanaan penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, bangsa dan negara yang berkaitan terhadap adanya kepastian hukum dalam sistem hukum yang berlaku.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa penegakan hukum di Indonesia sangat memprihatinkan, sehingga muncul stigma adanya “Mafia Peradilan” (baca : bukan mafia pengadilan). Karena budaya penegakan hukum yang rusak, ternyata tanpa disadari “masyarakat” ikut berperan atas rusaknya penegakan hukum di Indonesia. Salah satu penyebab ialah masyarakat kita lebih menyenangi proses penyelesaian hukum yang serba instan sehingga tidak segan-segan mengeluarkan uang asal masalahnya cepat selesai. Dan anehnya masyarakatpun tidak pernah jera untuk terus melanggar hukum, sehingga masyarakat sudah sangat terlatih bagaimana mengatasinya jika terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukannya apakah itu bentuk pelanggaran lalu-lintas, penyuapan atau melakukan delik-delik umum, atau melakukan tindak pidana korupsi, tidak menjadi masalah lagi dimana sebagian besar masyarakat kita telah terlatih benar bagaimana mempengaruhi proses hukum yang berjalan agar ia dapat terlepas dari jerat hukumannya.

Kenyataan ini merupakan salah satu indikator buruknya law enforcement di negeri ini.
Kita perlu membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel, antara lain :
1). Penyempurnaan atau memperbaharui serta melengkapi perangkat hukum dan perundang-undangan yang ada, seperti antara lain perlu segera dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) dari UU No.4 tahun 2004 terutama yang mengatur tentang pemberian sanksi pidana bagi pelanggar KUHAP, khususnya bagi mereka, yang ditangkap, ditahan,dituntut, atau diadili tanpa berdasarkan hukum yang jelas, atau karena kekeliruan orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana telah ditegaskan dalam pasal 9 ayat (2) UU No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ;
2) Ditingkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Penegak Hukum baik dari segi moralitas, intelektualitasnya, dan kesejahteraan ;
3). Dibentuknya suatu lembaga pengawas penegakan hukum di Indonesia yang independen yang dapat memberi merekomendasi tentang sanksi bagi Penegak Hukum yang nakal, dan melanggar Hak Asasi manusia (HAM) ;
4) Dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang mengatakan bahwa ; “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ;
5) Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang konsisten. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum, yaitu : Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat ;
Namun usul langkah-langkah di atas untuk membangun sistem penegakan hukum yang akuntabel tentu tidak dapat berjalan mulus tanpa ada dukungan penuh dari Pemerintahan yang bersih (‘clean government’), karena penegakan hukum (‘law enforcement’) adalah bagian dari sistem hukum pemerintahan. Pemerintahan negara ( ‘lapuissance de executrice’) harus menjamin kemandirian institusi penegak hukum yang dibawahinya dalam hal ini institusi “Kejaksaan” dan “Kepolisian” karena sesungguhnya terjaminnya institusi penegakan hukum merupakan platform dari politik hukum pemerintah yang berupaya mengkondisi tata-prilaku masyarakat Indonesia yang sadar dan patuh pada hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penegakan hukum yang akuntabel merupakan dasar dan bukti bahwa Indonesia benar-benar sebagai Negara Hukum ( ‘rechtsstaat’ ). Di samping itu rakyat harus diberitahu kriteria / ukuran yang dijadikan dasar untuk menilai suatu penegakan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan kepada publik guna menciptakan budaya kontrol dari masyarakat, tanpa itu penegakan hukum yang baik di Indonesia hanya ada di Republik Mimpi.
( Tulisan ini pernah dimuat di ”Teropong Hukum” SKH Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta )

Senin, 01 November 2010

Seputar Pernikahan Bagi PNS

Pernikahan PNS

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka perceraian sejauh mungkin dihindarkan dan hanya dapat dilakukan dalam hal-hal yang sangat terpaksa.

Perceraian hanya dapat dilakukan apabila ada alasan-alasan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan. Pegawai Negeri Sipil sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat harus menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pegawai Negeri Sipil dan pejabat yang tidak menaati atau melanggar ketentuan mengenai izin perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil dijatuhi hukuman disiplin.

Untuk kepentingan penyelenggaraan sistem informasi kepegawaian, setiap perkawinan, perceraian, dan perubahan dalam susunan keluarga Pegawai Negeri Sipil harus segera dilaporkan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara menurut tata cara yang ditentukan. Perkawinan Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan wajib segera melaporkan perkawainannya kepada pejabat. Laporan perkawinan disampaikan secara tertulis selambat-lambatnya l (satu) tahun terhitung mulai tanggal pernikahan. Ketentuan tersebut di atas juga berlaku untuk janda/duda Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pernikahan kembali atau Pegawai Negeri Sipil yang melakukan pernikahan dengan isteri kedua, ketiga, atau keempat.

Catatan: Yang dimaksud dengan pejabat ialah pejabat yang berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan Pegawai Negeri Sipil, atau pejabat lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki wewenang memberikan atau menolak permintaan izin perkawinan atau perceraian Pegawai Negeri Sipil.

Perceraian

Untuk dapat melakukan perceraian, Pegawai Negeri Sipil yang hendak bercerai harus memperoleh izin tertulis lebih dahulu dari pejabat. Pegawai Negeri Sipil hanya dapat melakukan perceraian apabila terdapat alasan-alasan sebagai berikut.

  1. Salah satu pihak berbuat zina,
  2. Salah satu pihak menjadi pemabok, pemadat, atau penjudi yang sukar disembuhkan,
  3. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuan/kemauannya,
  4. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat secara terus menerus setelah perkawinan berlangsung,
  5. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain,
  6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Surat permintaan izin perceraian diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki. Permintaan izin perceraian harus dilengkapi dengan salah satu atau lebih bahan pembuktian mengenai alasan-alasan untuk melakukan perceraian seperti tersebut di atas.

Kewajiban Atasan

Setiap atasan yang menerima surat permintaan izin perceraian harus berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang hendak bercerai tersebut. Apabila usahanya tidak berhasil, maka ia meneruskan permintaan izin perceraian tersebut kepada pejabat melalui saluran hirarki dengan disertai pertimbangan tertulis. Dalam surat pertimbangan tersebut antara lain dikemukakan keadaan obyektif suami isteri tersebut dan memuat saran-saran sebagai bahan pertimbangan bagi pejabat untuk mengambil keputusan.

Setiap atasan yang menerima surat permintaan izin perceraian, wajib menyampaikannya kepada pejabat selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin perceraian. Setiap pejabat harus mengambil keputusan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal ia menerima surat permintaan izin perceraian tersebut. Kewajiban Pejabat Sebelum mengambil keputusan, pejabat berusaha lebih dahulu merukunkan kembali suami isteri yang akan bercerai dengan cara memanggil mereka, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri. Apabila tempat suami isteri yang bersangkutan jauh dari kedudukan pejabat, maka pejabat dapat menginstruksikan kepada pejabat lain dalam lingkungannya untuk melakukan usaha merukunkan suami isteri itu.

Apabila dipandang perlu pejabat dapat meminta keterangan dari pihak lain yang dipandang mengetahui keadaan suami isteri yang bersangkutan. Apabila usaha merukunkan kembali suami isteri yang bersangkutan tidak berhasil, maka pejabat mengambil keputusan atas permintaan izin perceraian. Dalam mengambil keputusan pejabat mempertimbangkan dengan seksama, alasan-alasan yang diajukan oleh Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin perceraian, pertimbangan atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan, serta keterangan dari pihak lain yang dipandang mengetahui keadaan suami istri tersebut.

Permintaan izin untuk bercerai diberikan, apabila :

  1. Tidak bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianutnya,
  2. Alasan yang dikemukakan benar/sah,
  3. Tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan atau
  4. Alasan perceraian yang dikemukakan tidak bertentangan dengan akal yang sehat.

Proses Perkawinan/Perceraian Bagi PNS

Dasar Hukum

Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil sebagai mana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 1990.


Ketentuan Perkawinan

  1. Pegawai Negeri yang akan melangsungkan perkawinan pertama, wajib memberitahukannya secara tertulis kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun setelah perkawinan itu berlangsung, hal ini berlaku juga bagi Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang melangsungkan perkawinan lagi;
  2. Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.;
  3. Pegawai Negeri Sipil dilarang hidup bersama dengan wanita yang bukan istrinya atau dengan pria yang bukan suaminya sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah.

Ketentuan Perceraian

  1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat;
  2. Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam huruf diajukan kepada pejabat melalui saluran hirarki;
  3. Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hirarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud.
  4. Pegawai Negeri Sipil dan atau Atasan yang melanggar tersebut pada huruf a, b, c diatas serta tidak melaporkan perceraiannya dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat, dapat dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Displin Pegawai Negeri Sipil

Prosedur Pengajuan Perceraian

  • Tahap I : Kepala Satuan Kerja, setelah menerima permohonan untuk melakukan perceraian dari Pegawai Negeri Sipil di Satuan Kerjanya, wajib melakukan pembinaan terhadap keduanya serta diupayakan untuk merujukan;
  • Tahap II : Dari hasil pembinaan tersebut, bila Pegawai Negeri Sipil dan atau Suami/Istrinya tetap berkeinginan untuk melakukan perceraian, maka Kepala Satuan Kerja melaporkan permohon perceraian tersebut kepada Bupati, dilampiri hasil pembinaannya;